Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial.
Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat
bersosialisasi dengan baik.
Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus
(1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan
yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan
tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk
mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki
titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di
lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar
belakang pendidikan yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil
mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar
sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru.
Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.
(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada
rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu
terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan
guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting
pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu
bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan
atau role model.
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus
mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme
adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan
pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian
manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai
wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah
satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat",
dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh
percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Oleh Dede Mohamad Riva, S.Pd.
Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat
bersosialisasi dengan baik.
Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus
(1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, (2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan
yang sesuai dengan bidang tugasnya, (3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
Di samping itu, mereka juga harus (4) mematuhi kode etik profesi, (5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan
tugas, (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, (7) memiliki kesempatan untuk
mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, (8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, dan (9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki
titik lemah pada hal-hal berikut. (1) Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di
lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar
belakang pendidikan yang dimilikinya.
(2) Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil
mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. (3) Penghasilan tidak
ditentukan sesuai dengan prestasi kerja.
Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar
sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru.
Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.
(4) Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada
rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu
terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan
guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting
pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu
bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan
atau role model.
Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus
mengambil langkah. Hal-hal yang dapat dilakukan di antaranya (1) penyelenggaraan pelatihan. Dasar profesionalisme
adalah kompetensi. Sementara itu, pengembangan kompetensi mutlak harus berkelanjutan. Caranya, tiada lain dengan
pelatihan.
(2) Pembinaan perilaku kerja. Studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penelitian-penelitian
manajemen dua puluh tahun belakangan bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan pada berbagai
wilayah kehidupan ternyata ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja.
(3) Penciptaan waktu luang. Waktu luang (leisure time) sudah lama menjadi sebuah bagian proses pembudayaan. Salah
satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat",
dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
(4) Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh
percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Oleh Dede Mohamad Riva, S.Pd.